Kamis, 22 November 2012

PERANAN MOTIVASI DALAM MENINGKATKAN KINERJA SDM

1.1 Pendahuluan


Pada era globalisasi saat ini dan masa-masa akan datang kompetisi yang terjadi sudah bersifat global dan adanya perubahan-perubahan kondisi ekonomi menyebabkan banyak organisasi dari bermacam-macam ukuran melakukan langkah restrukturisasi. Hal ini mendorong terjadinya perubahan paradigma organisasi dari tradisional menjadi modern. Kondisi ini harus benar-benar disadari dan dipersiapkan secara proporsional. Persiapan ini terutama pada faktor-faktor sumber daya manusia yang bermutu dengan kualifikasi yang sesuai.

 Oleh karena itu, peningkatan kinerja sumber daya manusia (SDM) merupakan hal yang sangat penting di dalam usaha memperbaiki pelayanan kepada masyarakat, sehingga perlu diupayakan secara terus menerus dan berkesinambungan dalam menghadapi tuntutan masyarakat. Untuk menentukan hal ini perlu dicari faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja tersebut.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:770) kinerja diartikan sebagai: (1) sesuatu yang dicapai, (2) prestasi yang diperlihatkan, (3) kemampuan kerja. Snell SA (1992:329) menyatakan bahwa “kinerja merupakan kulminasi dari tiga elemen yang saling berkaitan, yakni keterampilan, upaya, bersifat eksternal”. Tingkat keterampilan merupakan bahan baku yang dibawa oleh seseorang ketempat kerjanya, seperti pengetahuan, kemampuan, kecakapan interpersonal serta kecakapan-kecakapan teknis. Tingkat upaya dapat digambarkan sebagai motivasi yang diperlihatkan oleh seseorang untuk menyelesaikan pekerjaan. Sedangkan kondisi-kondisi eksternal adalah tingkat sejauh mana kondisi-kondisi eksternal mendukung kinerja seseorang.


Tinggi rendahnya kinerja para pegawai dapat dipengaruhi beberapa faktor antara lain: “kemampuan dan kemauan kerja, fasilitas kerja yang digunakan, disamping itu juga tepat tidaknya cara yang dipilih perusahaan/instansi dalam memberikan motivasi kepada karyawan, dengan cara yang tepat dalam memotivasi karyawan untuk bekerja, semakin terlihat peningkatan produktivitas sesuai yang diharapkan oleh perusahaan”. (Sinungan, 2000:3). Pendapat tersebut mengatakan bahwa motivasi merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi peningkatan kinerja pengawai.

 Faktor yang diperhitungkan untuk meningkatkan gairah kerja pegawai dalam lingkungan instansi apapun adalah adanya motivasi dan kemampuan kerja yang dimiliki pegawainya. Hal ini cukup beralasan sebab kemampuan dan motivasi kerja merupakan faktor yang mencerminkan sikap dan karakter seseorang dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.

 Dalam membicarakan kinerja individu banyak faktor yang mempengaruhi. Hal ini karena terdapat fenomena individual dimana setiap individu pada dasarnya bersifat unik dan faktor penentu kinerja sangat beragam. Walaupun demikian ada dua faktor utama sebagai variabel paling penting dalam menerangkan kinerja seseorang yakni motivasi dan kemampuan.

Kinerja tidaklah mungkin mencapai hasil yang maksimal apabila tidak ada motivasi, karena motivasi merupakan suatu kebutuhan di dalam usaha untuk mencapai tujuan organisasi. Begitu juga berbagai ragam kemampuan pegawai akan sangat berpengaruh terhadap kinerja mengingat pegawai merupakan titik sentral dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya,


Sulistiyani (2003:189) mengatakan bahwa kinerja pegawai akan lebih memberikan penekanan pada dua faktor utama: (a) keinginan atau motivasi dari pegawai untuk bekerja yang kemudian akan menghasilkan usaha-usaha pegawai tersebut, (b) kemampuan dari pegawai untuk bekerja. Hal tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk persamaan yaitu P=f (m x a). Maksud dari persamaan ini adalah P= performance (kinerja), M= motivation (motivasi), dan a= ability (kemampuan).

Rendahnya motivasi dan kemampuan akan menyebabkan timbulnya kinerja yang rendah secara menyeluruh. Demikian sebaliknya, skor yang tinggi pada keduanya akan menghasilkan kinerja yang tinggi secara keseluruhan. Namun skor yang tinggi pada bidang kemampuan jika motivasinya sangat rendah akan mengakibatkan kinerjanya rendah. Sama halnya jika motivasinya tinggi namun kemampuannya sangat rendah kinerja juga akan rendah. Dalam kondisi dimana seseorang memiliki kemampuan yang sedang-sedang saja relatif agak rendah namun disertai dengan motivasi yang tinggi, sangat mungkin akan menunjukkan kinerja yang melebihi kinerja orang lain yang memiliki kemampuan tinggi tetapi dengan motivasi yang rendah.

Banyak teori yang membahas tentang faktor-faktor motivasi, seperti hirarchy of needs yang dikemukakan oleh Abraham H. Maslow, teori dua faktor Frederick Herzberg, teori ERG Clayton Alderfer, teori kebutuhan David McClelland, dan teori harapan dari Vroom, dimana semuanya menjelaskan bahwa faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi seseorang dalam menyelesaikan pekerjaannya.

Motivasi adalah faktor-faktor yang ada dalam diri seseorang yang menggerakkan dan mengarahkan perilakunya untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu. Merujuk teori Abraham H. Maslow dengan teori hirarchy of needs bahwa motivasi dipengaruhi oleh adanya dorongan kebutuhan fisiologis, dorongan kebutuhan keselamatan kerja, dorongan kebutuhan sosial, dorongan kebutuhan penghargaan, dan dorongan kebutuhan aktualisasi diri, sedangkan kemampuan (ability) secara psikologis terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowladge + skill). Seberapa besar pengaruh dorongan dan kemampuan seseorang terhadap kinerjanya.

Berdasarkan pandangan para ahli, pengertian kemampuan identik dengan pengertian kreativitas seperti dinyatakan oleh Supriadi (1996:16) bahwa “setiap orang memiliki kemampuan kreatif dengan tingkat yang berbeda-beda”. Sedangkan Semiawan (1984:8) mengartikan “kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru antar unsur dalam atau hal-hal yang sudah ada sebelumnya”. Dengan demikian secara operasional kreativitas dapat dirumuskan sebagai kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan atau fleksibel dan orisionalitas serta kemampuan mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya dan memperinci) suatu gagasan dengan dilandasi oleh kreativitas kerja pegawai yang optimal.


1.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan batasan masalah di atas, maka masalah-masalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.    Bagaimana peranan kemampuan yang terdiri dari pengetahuan dan keterampilan terhadap kinerja SDM Pemerintah Daerah.
2.    Bagaimana peranan yang terdiri kebutuhan fisiologis, keamanan dan keselamatan kerja, kebutuhan sosial, penghargaan dan aktualisasi diri terhadap kinerja SDM Pemerintah Daerah.



1.3 Tujuan Membuatan Karya Tulis



Berdasarkan pada perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam seminar ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana peranan kemampuan yang terdiri dari pengetahuan dan keterampilan terhadap kinerja SDM Pemerintah Daerah.



2. Untuk mengetahui bagaimana peranan motivasi yang terdiri kebutuhan fisiologis, keamanan dan keselamatan kerja, kebutuhan sosial, penghargaan dan aktualisasi diri terhadap kinerja pegawai SDM Pemerintah Daerah.



2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Motivasi

Pengertian motivasi telah banyak dikemukakan oleh beberapa penulis sesuai dengan tinjauan atau sudut pandang serta tujuan masing-masing. Menurut Mangkunegara (2005:P.61) “motivasi merupakan kondisi atau energi yang menggerakkan diri karyawan yang terarah atau tertuju untuk mencapai tujuan organisasi perusahaan”. Sedangkan Amstrong (1994:P.68) mengatakan bahwa “motivasi adalah sesuatu yang membuat orang bertindak atau berperilaku dalam cara-cara tertentu”. Dengan kata lain motivasi adalah sesuatu yang menggerakkan orang.

Gibson (1995:P.185) motivasi merupakan kekuatan yang mendorong seseorang karyawan yang menimbulkan dan mengarahkan perilaku. Sedang menurut pendapat Hamalik (1993;P.72) “motivasi adalah suatu perubahan energi dalam diri (pribadi) seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan”.

Sarwoto (1991:P.136) mengemukakan pengertian motivasi sebagai proses pemberian motif (penggerak) kerja kepada karyawan sedemikian rupa sehingga mereka bekerja dengan ikhlas demi tercapainya tujuan organisasi. Sedangkan Hasibuan (2005:P.95), mengartikan “motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerjasama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk mencapai kepuasan”.

Berdasarkan pengertian dari para ahli di atas maka disimpulkan bahwa motivasi sebagai energi untuk membangkitkan dorongan dari dalam diri pegawai yang berpengaruh, membangkitkan, mengarahkan dan memelihara perilaku berdasarkan lingkungan kerja. Jadi motivasi adalah dorongan dari diri pegawai untuk memenuhi kebutuhan yang berorientasi kepada tujuan individu dalam mencapai rasa puas, kemudian diimplimentasikan kepada orang lain untuk memberikan pelayanan yang baik pada masyarakat.

2.2. Beberapa Teori Motivasi


Beberapa teori tentang motivasi yang menerangkan faktor-faktor motivasi dalam pengaruhnya terhadap produktivitas atau kinerja diantaranya adalah sebagai berikut.


a. Teori Motivasi Kebutuhan (Hierarchy of needs) dari Abraham H Maslow


Teori ini dikemukakan oleh Abraham H. Maslow yang menyatakan bahwa manusia dimotivasi untuk memuaskan sejumlah kebutuhan yang melekat pada diri setiap manusia yang cenderung bersifat bawaan. Kebutuhan ini terdiri dari lima jenis dan terbentuk dalam suatu hirarkhi dalam pemenuhannya (hierarchy of needs). Kelima jenis kebutuhan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.




Sumber: Hariandja, 2002:327



Kelima jenis kebutuhan yang melekat pada diri setiap manusia yang cenderung bersifat bawaan adalah sebagai berikut :

1.    Kebutuhan fisik (physiological needs) yaitu kebutuhan ini berkaitan dengan kebutuhan yang harus dipenuhi untuk dapat mempertahankan diri sebagai makhluk fisik seperti kebutuhan untuk makanan, pakaian, dan kebutuhan rawagi lainnya;

 2.    Kebutuhan rasa aman (safety needs) yaitu kebutuhan ini berkaitan dengan kebutuhan rasa aman dari ancaman-ancaman dari luar yang mungkin terjadi seperti keamanan dari ancaman orang lain, ancaman bahwa suatu saat tidak dapat bekerja karena faktor usia, pemutusan hubungan kerja (PHK) atau faktor lainnya;

 3.    Kebutuhan sosial (social needs) yaitu kebutuhan ini ditandai dengan keinginan seseorang menjadi bagian atau anggota dari kelompok tertentu, keinginan untuk menjalin hubungan dengan orang lain, dan keinginan membantu orang lain;

 4.    Kebutuhan pengakuan (esteem needs) yaitu kebutuhan yang berkaitan tidak hanya menjadi bagian dari orang lain (masyarakat), tetapi lebih jauh dari itu, yaitu diakui/dihormati/dihargai orang lain karena kemampuannya atau kekuatannya. Kebutuhan ini ditandai dengan penciptaan simbol-simbol, yang dengan simbol itu kehidupannya dirasa lebih berharga. Dengan simbol-simbol seperti merek sepatu, merek jam dan lainnya merasa bahwa statusnya meningkat dan dirinya sendiri disegani dan dihormati orang; dan

5.    Kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization needs) yaitu kebutuhan yang berhubungan dengan aktualisasi/ penyaluran diri dalam arti kemampuan/minat/potensi diri dalam bentuk nyata dalam kehidupannya merupakan kebutuhan tingkat tertinggi dari teori Maslow, seperti ikut seminar, loka karya yang sebenarnya keikutsertaannya itu bukan didorong oleh ingin dapat pekerjaan, tetapi sesuatu yang berasal dari dorongan ingin memperlihatkan bahwa ia ingin mengembangkan kapasitas prestasinya yang optimal.


Pada prinsipnya teori tingkat kebutuhan menurut Maslow, mengasumsikan bahwa seseorang akan berusaha memenuhi kebutuhan pokok atau tingkat rendah terlebih dahulu (fisiologis) sebelum berusaha memenuhi tingkat yang lebih tinggi, begitu seterusnya sampai mencapai tingkat kebutuhannya yang tertinggi yaitu aktualisasi diri (self actualization)

b. Teori Dua Faktor dari Frederick Herzberg

Teori yang dipelopori oleh Frederick Herzberg ini merupakan teori yang berhubungan langsung dengan kepuasan kerja. Menurut teori ini ada dua faktor yang mempengaruhi kondisi pekerjaan seseorang. Kondisi pertama adalah faktor motivator (motivator factors) atau faktor pemuas. Menurut Herzberg faktor motivator merupakan faktor pendorong seseorang untuk berprestasi yang bersumber dari dalam diri orang yang bersangkutan (intrinsik) yang mencakup (1) kepuasan kerja itu sendiri (the work it self), (2) prestasi yang diraih (achievement), (3) peluang untuk maju (advancement), (4) pengakuan orang lain (recognition), (5) kemungkinan pengembangan karir (possibility of growth), dan (6) tanggung jawab (responsible).

Faktor kedua adalah faktor pemelihara (maintenance factor) atau hygiene factor merupakan faktor yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan untuk memelihara keberadaan karyawan. Faktor ini merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi kehidupan para pegawai, karena faktor maintenance ini sebagai faktor yang besar tingkat ketidakpuasannya yang bila tidak dipenuhi sebagaimana mestinya. Faktor ini dikualifikasikan ke dalam faktor ekstrinsik yang meliputi antara lain, (1) konpensasi, (2) kondisi kerja, (3) rasa aman dan selamat, (4) supervisi, (5) hubungan antar manusia, (6) status, dan (7) kebijaksanaan perusahaan.

Berdasarkan uraian yang telah disebutkan di atas, kiranya tampak dengan jelas bahwa upaya meningkatkan motivasi kerja dapat dilakukan dengan memasukkan unsur-unsur yang memotivasi ke dalam suatu pekerjaan seperti membuat pekerjaan menantang, memberi tanggung jawab yang besar pada pekerja.



c. Teori ERG dari Clayton Alderfer

Teori ini dikemukakan oleh Clayton Alderfer yang dikenal dengan teori ERG, yaitu existence, relatedness, dan growth. Secara konseptual teori ERG mempunyai persamaan dengan teori yang dikembangkan oleh Maslow. Existence (eksistensi) identik dengan kebutuhan untuk mempertahankan keberadaan seseorang dalam hidupnya. Dikaitkan dengan penggolongan dari Maslow, berkaitan dengan kebutuhan fisik (fisiologis) dan keamanan. Sedangkan relatedness (hubungan) berhubungan dengan kebutuhan untuk berintekrasi dengan orang lain. Dikaitkan dengan penggolongan kebutuhan dari Maslow, meliputi kebutuhan sosial dan pengakuan. Growth (pertumbuhan) berhubungan dengan kebutuhan pengembangan diri, yang identik dengan kebutuhan self-actualization yang dikemukakan oleh Maslow.

Teori ERG bahwa jenjang-jenjang bukan merupakan tingkat, tetapi hanya sekedar pembeda, sehingga setiap orang dapat saja bergelut dalam kebutuhan yang lebih besar dari satu kebutuhan pada saat yang sama tanpa menunggu salah satunya terpenuhi terlebih dahulu seperti Maslow.



d. Teori Kebutuhan David McClelland

Menurut McClelland (Hariandja, 2002: 329), yang mengatakan bahwa ada tiga kebutuhan manusia, yaitu:

1. Kebutuhan berprestasi (needs for achievement), yaitu kebutuhan untuk berprestasi yang merupakan refleksi dari dorongan akan tanggung jawab untuk pemecahan masalah. Seorang pegawai yang mempunyai kebutuhan akan berpartisipasi tinggi cenderung untuk berani mengambil resiko. Kebutuhan untuk berprestasi adalah kebutuhan untuk melakukan pekerjaan lebih baik daripada sebelumnya, selalu berkeinginan mencapai prestasi yang lebih tinggi.

2. Kebutuhan untuk berkuasa (needs for power), yaitu kebutuhan untuk kekuasaan yang merupakan refleksi dari dorongan untuk mencapai otoritas dan untuk memiliki pengaruh orang lain.

3. Kebutuhan afiliasi (needs for afiliation), yaitu kebutuhan untuk berhubungan sosial, yang merupakan dorongan untuk berintekrasi dengan orang lain atau berada bersama orang lain, tidak mau melakukan sesuatu yang merugikan orang lain.

Ketiga jenis kebutuhan tersebut bisa dimiliki setiap orang, yang berbeda hanyalah intensitasnya. Seseorang dapat memiliki kebutuhan prestasi yang dominan dibandingkan dengan yang lain, sementara pada orang lain yang dominan mungkin kebutuhan berkuasa. Kebutuhan mana yang dominan pada seseorang dapat dipengaruhi oleh sistem nilai yang berkembang dalam masyarakatnya. Misalnya, suatu masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai prestasi dapat mempengaruhi anggota masyarakatnya untuk memiliki kebutuhan yang dominan dalam kebutuhan berprestasi. Misalnya, Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai kekeluargaan dapat mempengaruhi kebutuhan afiliasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan berprestasi.

Sejalan dengan teori dan pendapat para ahli yang dikemukakan tadi, maka dalam penulisan karya tulis ini cenderung menggunakan pendapat/teori Abraham H. Maslow dengan teori hirarchy of needs karena pendapat tersebut cukup berpengaruh di dalam mendorong kinerja seseorang pegawai.



2.3 Pengertian Kinerja

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:P.570) memberikan defenisi kinerja diartikan sebagai: (1) sesuatu yang dicapai, (2) prestasi yang diperlihatkan, (3) kemampuan kerja”. Snell SA (1992:P.329) menyatakan bahwa “kinerja merupakan kulminasi dari tiga elemen yang saling berkaitan, yakni keterampilan, upaya, bersifat eksternal”. Tingkat keterampilan merupakan bahan baku yang dibawa oleh seseorang ketempat kerjanya, seperti pengetahuan, kemampuan, kecakapan interpersonal serta kecakapan-kecakapan teknis. Tingkat upaya dapat digambarkan sebagai motivasi yang diperlihatkan oleh seseorang untuk menyelesaikan pekerjaan. Sedangkan kondisi-kondisi eksternal adalah tingkat sejauh mana kondisi-kondisi eksternal mendukung kinerja seseorang.

Kinerja adalah suatu ukuran yang mencakup keefektifan dalam pencapaian tujuan dan efesiensi yang merupakan rasio dari keluaran efektif terhadap masukan yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu (Robbins, 1996:P.24).

Kinerja diberi batasan oleh Maier sebagai kesuksesan seseorang di dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Lebih tegas lagi Parter dan Lawler menyatakan bahwa kinerja adalah “succesful role achievent” yang diperoleh seseorang dari perbuatan-perbuatannya (as’ad,2003:P.47).

Dari batasan-batasan tersebut jelas bahwa yang dimaksud dengan kinerja adalah hasil yang dicapai oleh seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan. Menurut Vroom tingkat sejauh mana keberhasilan seseorang di dalam melaksanakan tugas pekerjaannya disebut “level of performance” (As’ad,2003:P.48). Biasanya orang yang mempunyai level of performance tinggi, disebut sebagai orang produktif dan sebaliknya orang yang mempunyai level of performance rendah (tidak mencapai standar) dikatakan sebagai orang yang tidak produktif.

Handoko (1998:P.7) “dua konsepsi utama untuk mengukur kinerja (performance) seseorang adalah efisiensi dan efektifitas”. Efisiensi adalah kemampuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dengan benar. Efisiensi ini merupakan konsep matematik atau merupakan perhitungan rasio antara pengeluaran (output) dan masukan (infut). Seorang pegawai yang efisien adalah seorang yang mencapai keluaran yang lebih tinggi (hasil, produktifitas, kinerja) dibanding masukan-masukan (tenaga kerja, bahan, uang, mesin dan waktu). Dengan kata lain, dapat memaksimumkan keluaran dengan jumlah masukan yang terbatas. Sedangkan efektifitas merupakan kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, seorang pegawai yang efektif adalah seorang yang dapat memilih pekerjaan yang harus dilakukan dengan metode (cara) yang tepat untuk mencapai tujuan.







2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja

Para pimpinan perusahaan atau kantor sangat menyadari bahwa ada perbedaan kinerja antara seorang pegawai dengan pegawai lainnya yang berada di bawah pengawasannya. Walaupun para pegawai bekerja pada bagian yang sama, namun produktivitas mereka bisa tidak sama.

Keith Davis (1985:P.484) faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Sedangkan Robbins (1996:P.224), bahwa kinerja karyawan itu dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: kemampuan (ability), motivasi (motivation), dan kesempatan (opportunity).

Penilaian kerja pegawai didasarkan atas penilaian dan kemampuan dari karyawan yang bersangkutan dengan menilai faktor-faktor kemampuan, disiplin, dan kreativitas. Kinerja merupakan cerminan dari motivasi karyawan yang dinilai. Jadi tinggi rendahnya kinerja pegawai tergantung dari cerminan perilaku dan kemampuan (motivasi) pegawai dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa motivasi dan kemampuan adalah unsur-unsur yang membentuk kinerja seseorang dalam menjalankan pekerjaannya atau tugasnya. Untuk kepentingan pendekatan dalam karya tulis ini, selanjutnya teori dasar yang digunakan sebagai landasan untuk mengkaji analisis kinerja pegawai dalam hubungannya dengan tupoksi adalah teori kinerja pegawai (performance) yang diformulasikan oleh Keith Davis di atas, yaitu Human Performance = Ability + Motivation. Teori tersebut akan diaplikasikan dengan menggunakan berbagai sumber rujukan yang telah dimodifikasi sesuai dengan permasalahan yang akan dikaji. Dengan demikian faktor-faktor motivasi dan kemampuan berpengaruh terhadap kinerja pegawai.

4. PEMBAHASAN

Salah satu teori motivasi yang banyak mendapat sambutan yang amat positif di bidang manajemen organisasi adalah teori Hirarkhi Kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham H. Maslow. Menurut Maslow setiap individu memiliki kebutuhan-kebutuhan yang tersusun secara hirarkhi dari tingkat yang paling mendasar sampai pada tingkatan yang paling tinggi. Setiap kali kebutuhan pada tingkatan paling rendah telah terpenuhi maka akan muncul kebutuhan lain yang lebih tinggi. Pada tingkat yang paling bawah dicantumkan berbagai kebutuhan dasar yang bersifat biologis, kemudian pada tingkatan yang lebih tinggi dicantumkan berbagai kebutuhan dasar yang bersifat sosial. Pada tingkatan yang paling tinggi dicantumkan kebutuhan untuk mengaktualisasi diri.

1.             Pengaruh Pemenuhan Kebutuhan Fisiologis terhadap Kinerja Pegawai



Pemenuhan kebutuhan fisiologis dalam karya tulis ini terbukti secara parsial mampu memberikan konstribusi yang signifikan dalam mempengaruhi motivasi kerja pegawai dalam meningkatkan kinerja pegawai. Hal ini berarti faktor pemenuhan kebutuhan fisiologis yang meliputi pendapatan gaji bulanan, TKPKN, dan lembur. Dengan adanya tiga jenis penghasilan mempunyai konstribusi yang signifikan dalam meningkatkan kinerja pegawai. Artinya terdapat kesesuaian antara penghasilan dengan beban kerja. Dari tahun ke tahun penghasilan pegawai selalu meningkat sebagai salah satu bentuk reward akibat bertambahnya beban kerja dan tanggungjawab sehingga secara keseluruhan memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan kinerja pegawai.

2.    Pengaruh Pemenuhan Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan Kerja terhadap Kinerja Pegawai



Pemenuhan kebutuhan keamanan dan keselamatan kerja dalam karya tulis ini terbukti secara parsial mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam mempengaruhi motivasi kerja pegawai dalam meningkatkan kinerja pegawai. Hal ini berarti faktor pemenuhan kebutuhan keamanan dan keselamatan kerja yang meliputi ketenangan dalam bekerja, kebebasan berpendapat, kebebasan berinovasi, jaminan kesehatan, jaminan hari tua/pensiun, kelengkapan fasilitas kerja, lokasi pekerjaan, dan kenyamanan dalam bekerja mampu memotivasi pegawai untuk meningkatkan kinerjanya.



Setiap organisasi dan pegawai tentu saja memiliki kebutuhan dan kepentingan bersama dalam mengusahakan situasi dan kondisi tempat kerja yang nyaman (work place safety), sebab bila pegawai terjadi cedera, sakit, dan kecelakaan dapat menurunkan kinerja pegawai yang mengakibatkan pemborosan uang organisasi. Karena itu setiap kantor harus (a) menyediakan fasilitas poliklinik yang setiap hari atau waktu-waktu tertentu bisa dimanfaatkan, (b) menyediakan fasilitas tunjangan pendidikan kepada keluarga pegawai yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, berupa bantuan dari dana sosial.











3.    Pengaruh Pemenuhan Kebutuhan Sosial terhadap Kinerja Pegawai



Variabel pemenuhan kebutuhan sosial dalam karya tulis ini terbukti secara parsial mampu memberikan konstribusi yang signifikan dalam mempengaruhi motivasi kerja pegawai dalam meningkatkan kinerja. Hal ini berarti, kebutuhan sosial yang meliputi hubungan dengan sesama pegawai, hubungan dengan atasan, hubungan dengan instansi lain, hubungan dengan pegawai lain pada bagian lain. Secara fitrah, manusia memerlukan interaksi sosial sesamanya. Oleh karena itu manusia yang normal pasti membutuhkan hubungan dengan manusia lainnya, kebutuhan untuk berkumpul, berdiskusi, bersenda gurau ataupun penyaluran bakat dan minat adalah hal yang menjadi perhatian dalam suatu organisasi.



Kecakapan sosial menyangkut soal bagaimana kita menangani suatu hubungan. Dua unsur terpenting untuk menilai kecakapan sosial seseorang adalah: pertama, empati. Ini menyangkut kemampuan untuk memahami orang lain, perspektif orang lain, dan berminat terhadap kepentingan orang lain, juga kemampuan mengantisipasi, mengenali, dan berusaha memenuhi kebutuhan pengguna, mengatasi keragaman dalam membina pergaulan, mengembangkan orang lain, dan kemampuan membaca arus emosi sebuah kelompok dan hubungannya dengan kekuasaan, dan Kedua, keterampilan sosial, termasuk dalam hal ini adalah taktik-taktik untuk meyakinkan orang (persuasi), berkomunikasi secara jelas dan meyakinkan, bernegoisasi dan mengatasi saling pendapat, dan menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan kepentingan bersama.

4.    Pengaruh Kebutuhan Penghargaan terhadap Kinerja Pegawai



Kebutuhan penghargaan yang meliputi penghargaan atau sanjungan atau pujian dari atasan, penghargaan berupa promosi jabatan, penghargaan berupa insentif barang dan penghargaan berupa piagam penghargaan/lencana/piala dapat memotivasi pegawai untuk meningkatkan prestasi kerja.



5.    Pengaruh Aktualisasi Diri terhadap Kinerja Pegawai


Pe
menuhan kebutuhan aktualisasi diri dalam karya tulis ini mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam mempengaruhi motivasi kerja pegawai dalam meningkatkan kinerjanya. Kebutuhan aktualisasi diri pegawai yang meliputi keinginan berkarya sesuai dengan keahlian yang dimiliki untuk peningkatan karier dan keberhasilan instansinya, keinginan menyampaikan kemampuan (pengetahuan dan keterampilan) yang dimiliki kepada orang lain, dan keinginan untuk menemukan dan mengembangkan hal baru atas dasar potensi yang ada dalam dirinya, mampu memotivasi untuk meningkatkan kinerjanya.



Manusia merupakan sumber daya paling penting dalam usaha organisasi untuk mencapai keberhasilan. Sumber daya manusia menunjang organisasi dengan karya, bakat, kreativitas dan dorongan. Betapapun sempurnanya aspek teknologi dan ekonomi, tanpa aspek manusia sulit kiranya tujuan organisasi dapat dicapai. Masyarakat modern menunjukkan perhatian yang sangat tinggi terhadap aspek manusia. Nilai-nilai manusia (human values) semakin diselaraskan dengan aspek teknologi maupun ekonomi.



Dalam hubungan dengan motivasi kerja Maslow menyusun sebuah hirarkhi tentang kebutuhan manusia. Pegawai yang masih berada pada tingkatan pemenuhan kebutuhan fisik pola motivasinya tentu saja berbeda dengan pegawai yang sudah sampai pada tahap aktualisasi diri. Bagi mereka yang memiliki tingkat kebutuhan aktualisasi diri sangat besar, bekerja telah berubah menjadi sebuah kesenangan dan bekerja bukan lagi dirasakan sebagai sebuah beban. Namun dengan demikian berarti tugas besar dalam kepemimpinan ialah sejauhmana para pemimpin dalam suatu organisasi mampu memindahkan posisi mereka yang dipimpin itu, dari tahap hirarkhi yang rendah menuju hirarkhi yang tinggi.



Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah Daerah perlu untuk memberikan pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri dengan cara: (a) memberikan kesempatan seluas-luasnya pada mereka yang memang ingin berkembang. Peluang pimpinan untuk mendorong peningkatan motivasi kerja pegawai dengan berlandaskan kepada pemberdayaan pegawai serta pemberian kesempatan yang lebih luas kepada pegawai untuk bertindak atas inisiatif sendiri., dan (b) mengupayakan menghindari dan mencegah adanya lingkungan yang suka menghambat dengan pembuatan perencanaan yang baik dengan melibatkan seluruh pegawai untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.







Menutup uraian pada bagian ini, penilaian kinerja terhadap pegawai dapat diketahui secara tepat apa yang sedang dihadapi dan target apa yang harus dicapai. Melalui penilaian kinerja pegawai dapat disusun rencana, strategi dan penentuan langkah-langkah yang perlu diambil sehubungan dengan pencapaian tujuan karier yang diinginkan. Bagi pihak manajemen kinerja pegawai sangat membantu dalam mengambil keputusan seperti promosi dan pengembangan karier, mutasi, penyesuaian kompensasi, kebutuhan pelatihan dan mempertahankan status organisasi yang telah diperoleh.



Berdasarkan manfaat di atas dapat dikatakan bahwa penilaian kinerja yang dilakukan secara tidak tepat akan sangat merugikan pegawai dan organisasi. Karyawan dapat menurun motivasi kerjanya karena hasil penilaian kinerja yang tidak sesuai dengan hasil kerjanya. Dampak motivasi karyawan yang menurun adalah ketidakpuasan kerja yang pada akhirnya akan sangat mempengaruhi kinerja pegawai. Bagi organisasi, hasil penilaian kinerja yang tidak tepat, misalnya kondisi kerja yang tidak mendukung, akan menurunkan kualitas organisasi tersebut. Kualitas yang menurun pada akhirnya akan mempengaruhi hasil kinerja organisasi, dan tujuan organisasi jadi tidak maksimal.



5. PENUTUP



5.1. Kesimpulan



Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, berikut disimpulkan bahwa secara keseluruhan motivasi yang terdiri dari fisiologis keamanan dan keselamatan, kebutuhan sosial, penghargaan dan aktualisasi diri berperan terhadap kinerja SDM Pemerintah Daerah.



5.2 SARAN



Berdasarkan kesimpulan dari hasil karya tulis di atas, untuk meningkatkan kemampuan dan motivasi kerja dalam rangka peningkatan kinerja SDM Pemerintah Daerah disarankan untuk melakukan langkah-langkah sebagai berikut.

1. Untuk meningkatkan pengetahuan pegawai perlu diberikan kesempatan kepada para pegawai yang memenuhi syarat untuk mengikuti studi lanjut baik dalam maupun luar negeri, karena organisasi Pemerintah Daerah yang begitu besar dan cakupan yang luas diperlukan SDM yang berkualitas tinggi untuk dapat mengikuti perkembangan dunia yang dimanis.

2. Dari aspek keterampilan para pegawai dapat diikut-sertakan dalam kegiatan-kegiatan pelatihan/kursus yang berkaitan dengan bidang tugas. Setiap SKPD harus mempunyai karakteristik yang berbeda dengan SKPD lain, sehingga perlu keterampilan khusus, seperti diklat bendaharawan, diklat pengadaan barang/jasa, dan lain-lain.

3. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan fisiologis seyogyanya mengupayakan peningkatan secara kualitas dan kuantitas perlu menerapkan sistem reward and punishment berdasarkan pencapaian kinerja pegawai.



DAFTAR PUSTAKA

As’ad, Moh. 2003. Psikologi Industri. Edisi keempat. Liberty Yogyakarta.


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 3. Balai Pustaka Jakarta.


Dharma, Agus. 1985. Manajemen Prestasi Kerja. Edisi Pertama Rajawali, Jakarta.


Gibson, James L., Ivancevich, Donnelly, Jr, 1995. Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses. Edisi I. Bina Rupa Aksara, Jakarta.

Hamalik, Oemar. 1993. Psychologi Manajemen. Tri Gendakarya, Bandung.


Handoko, Hani. 2002. Manajemen Personalia. BPFE, Yogyakarta.

Hariandja, Marihot, T.E. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia, Grasindo.
Jakarta.

Mangkunegara, A. Prabu. 2005. Evaluasi Kinerja SDM, Refika Aditama, Bandung.


Mangunhardjana, A.M. 1986. Mengembangkan Kreativitas, Terjemahan dari David
Cambell. Kanisius, Jakarta.

Robbins, Stephen. P., 1996. Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi, Aplikasi. Alih
bahasa: Hadyana. Preinhallindo, Jakarta.

Sarwoto, 1992. Dasar-dasar dan Manajemen. Chalia Indonesia, Jakarta

Semiawan, Conny, 1984. Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah. Gramedia Jakarta.

Snell, SA., 1992. Diagnosis Kinerja: Mengenali Penyebab Kinerja Buruh. Dalam A.
Dale Tample (ED). Seri Ilmu dan Manajemen Bisnis Kinerja
. Alih bahasa
Cikmat, Elex MK., Jakarta.

Sulistiyani, Ambar Teguh dan Rosidah. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia,  Graha Ilmu, Yogyakarta.

Supriadi, Dedi, 1996. Kreativitas Kebudayaan dan Perkembangan Iptek, Alfabetha Bandung.

Swasto, Bambang, 1996. Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengaruhnya
terhadap Kinerja dan Imbalan
, Cetakan Pertama. Universitas Brawijaya  Malang.

SAP dan Peran Penilaian Aset


Pengelolaan keuangan Daerah memasuki babak baru pada tahun 2003 dengan diundangkannya UU No. 17 tentang Keuangan Negara. Paket payung hukum reformasi keuangan Daerah semakin lengkap setelah UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Daerah dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Daerah disahkan DPR. Reformasi pengelolaan keuangan Daerah ini sesungguhnya memiliki dimensi yang begitu luas. Di antara dimensi strategis yang menjadi karakter reformasi tersebut adalah bagaimana pengelolaan keuangan Daerah ini ditatausahakan dan dipertanggungjawabkan. Di dalam ketentuan-ketentuan tersebut diatur bahwa pemerintah diwajibkan menyusun laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan Daerah kepada DPRD setelah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Oleh karena itulah, dibutuhkan sebuah standar akuntansi dan pelaporan keuangan yang akan menjadi acuan, baik bagi pemerintah selaku penyelenggara keuangan Daerah maupun BPK selaku lembaga yang memiliki kewenangan memeriksa penyelenggaraan tersebut. Kebutuhan itu terjawab setelah pemerintah menetapkan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi pemerintahan.
Pada sisi yang lain, kegiatan penilaian Barang Milik Daerah turut menentukan bahkan menjadi  salah satu prioritas dalam reformasi keuangan Daerah. Namun Demikian dalam perjalanan pengelolaan Barang Milik Daerah Pemerintah daerah sendiri tidak memiliki tenaga/SDM yang mempunyai keahlian dalam melakukan penilaian terhadap pengelolaan Barang  Milik Daerah.

Salah satu sisi penting penilaian Khusus untuk Barang Milik Negara telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 2 tahun 2008 tentang Penilaian BMN, adalah bahwa penilaian berfungsi untuk membantu penyajian neraca pemerintah pusat. Di sinilah kita mendapati keterkaitan erat antara penilaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. Mencermati SAP, akan diperoleh gambaran tentang di mana saja peran penilaian ini dibutuhkan. Bagaimana dengan Pemerintah Daerah, tidak memiliki tenaga ahli penilai dan/atau aturan tentang penilaian sehingga harus mengantungkan diri dengan Penilai Independen  dampaknya adalah menguras APBD untuk membiayai tenaga ahli dimaksud. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 17 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah.
 

1.             Penilaian Persediaan.

 Persediaan adalah aset lancar dalam bentuk barang atau perlengkapan yang dimaksudkan untuk mendukung kegiatan operasional pemerintah, dan barang-barang yang dimaksudkan untuk dijual dan/atau diserahkan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) Nomor 05, ada 3 cara pengukuran terhadap akun ini, yaitu berdasarkan harga perolehan (apabila diperoleh dengan pembelian), biaya standar (diproduksi sendiri), dan nilai wajar (diperoleh dengan cara lainnya seperti hibah atau rampasan). Dengan demikian, penilaian terhadap persediaan dibutuhkan manakala persediaan tersebut diperoleh pemerintah tidak melalui pembelian atau memproduksi sendiri, dalam rangka mendapatkan nilai wajarnya (fair value). Termasuk di dalamnya adalah apabila persediaan itu ada karena dikembangbiakkan seperti hewan dan tanaman.
 

2.             Penilaian Investasi.


Investasi adalah aset yang dimaksudkan untuk memperoleh manfaat ekonomik seperti bunga, dividen dan royalti, atau manfaat sosial, sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemerintah dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Menurut PSAP Nomor 06, investasi pemerintah terbagi menjadi investasi jangka pendek dan investasi jangka panjang. Investasi jangka panjang sendiri terdiri dari investasi non permanen dan investasi permanen. Bentuk investasi dapat bervariasi, seperti investasi dalam saham, obligasi, dan deposito. Sebagaimana aset lainnya, investasi akan diukur sesuai dengan harga perolehannya. Dalam hal merupakan investasi jangka pendek non-saham (misalnya deposito), investasi tersebut diukur berdasarkan nilai nominalnya. Namun demikian, penilaian terhadap akun ini diperlukan dalam beberapa kondisi, yaitu apabila investasi diperoleh tanpa nilai perolehan atau ketika investasi tersebut tidak mempunyai pasar aktif yang dapat membentuk nilai pasarnya. Dalam keadaan yang terakhir ini, selain menggunakan nilai wajar, pengukuran investasi dapat juga menggunakan nilai nominal atau nilai tercatat (book value).
 

3.             Penilaian Aset Tetap


Aset tetap adalah aset berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Aset tetap ini menurut PSAP Nomor 07, terdiri atas tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi, dan jaringan, aset tetap lainnya, dan konstruksi dalam pengerjaan (KDP). Dalam pengukurannya, prinsip dasar yang dipakai adalah bahwa aset tetap dinilai dengan biaya perolehannya. Namun, apabila ketentuan ini tidak dapat diberlakukan, nilai aset tetap akan didasarkan pada nilai wajar saat perolehan. Dalam hal terakhir inilah, penilaian terhadap jenis aset ini menjadi relevan.

Selasa, 13 November 2012

Kewenangan Penilaian BMD dan Pelaksanaan Sewa BMD

Kewenangan Penilaian BMD dan Pelaksanaan Sewa BMD

Di indonesia—sebagai penganut sistem hukum yang menempatkan asas legalitas (wetmatigheid) sebagai aspek paling elementer dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dapat dikatakan bahwa penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan hukum. Dengan kata lain, secara keseluruhan pemerintah bekerja untuk menyelenggarakan hukum, karena hukum selain sebagai norma yang mengatur apa yang mesti diselenggarakan, juga mengatur bagaimana diselenggarakan. Tata kelola pemerintahan yang baik tentu harus dibangun berdasarkan ketentuan yang memadai, karena tanpa ketentuan yang memadai akan timbul ketidakpastian hukum yang pada gilirannya berdampak pada timbulnya persoalan dalam penyelenggaraan hukum (penyelenggaraan pemerintahan) itu sendiri. Tentu ada yang dinamakan mengisi kekosongan hukum, akan tetapi tidaklah sembarangan dapat diterapkan, selain subjek hukum yang dapat melakukannya terbatas, juga dalam prosesnya tidaklah mudah.  Dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya di bidang pengelolaan kekayaan Daerah Pemerintah Daerah didukung oleh perangkat perundang-undangan—baik yang secara langsung mengatur untuk itu maupun yang secara tersirat—meliputi dan tidak terbatas pada, UUD 1945, Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Daerah, Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah/ Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2008 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah/ Daerah. Yang mana, mengingat asas, Binding Force of Precedent, setiap ketentuan tersebut terikat oleh ketentuan lainnya, yang berarti bahwa keharmonisan antar aturan tersebut ada, dan jika terdapat ketidakharmonisan maka diselesaikan dengan menerapkan asas-asas hukum yang diakui.

Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah/ Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2008 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah/ Daerah, sebagai legi inferiori, merupakan penjabaran lebih lanjut atas ketentuan perundang-undangan di atasnya. Di dalamnya diatur ketentuan umum pengelolaan BMN/D, dan secara lebih khusus—untuk hal-hal menyangkut pengelolaan BMD dijabarkan kembali ke dalam peraturan yang lebih aplikatif yaitu Peraturan Menteri Dalam, yang salah satunya adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Kendati secara tersirat diatur dalam Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 bahwa Peraturan Menteri tidak termasuk dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan, namun kedudukannya sebagai aturan pelaksanaan atas Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2008, tetaplah mengikat sepanjang secara ketat sesuai dengan ketentuan di atasnya. Nah, terkait dengan hal inilah timbul begitu banyak rupa permasalahan dengan penyelesaian yang seharusnya sederhana namun oleh karena banyaknya kepentingan menimbulkan perdebatan yang tak berujung. Salah satu permasalahan yang riskan timbul adalah dalam hal kewenangan penilaian terkait pelaksanaan penyewaan BMD oleh pengguna barang. Hal ini penting mengingat kaitannya dengan penetapan besaran tarif sewa, yang berhadapan langsung dengan apa yang disebut kerugian Daerah. Tentu perdebatanya berada pada tataran, siapa bertanggung jawab atas itu?
 

Penilaian Terkait Pemanfaatan Sesuai Peraturan Pemerintah

 Pada pasal 39 ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2008 disebutkan bahwa:

Penilaian barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh gubernur/ bupati/walikota”.

Yang dimaksud dengan penilai independen adalah penilai yang bersertifikat dibidang penilaian aset yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.

Kemudian pada ayat (4), disebutkan bahwa:

Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi penjualan barang milik Daerah berupa tanah yang diperlukan untuk pembangunan rumah susun sederhana.

Dari kedua ayat di atas, yang dipetik secara utuh dari Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2008, secara jelas dimaknai sebagaimana tersurat—diatur bahwa kewenangan penilaian atas pemanfaatan BMD dengan kondisi apapun berada pada penilai internal yang ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota dan dapat melibatkan penilai eksternal yang ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota, kecuali atas apa yang diatur pada ayat (4) di atas. Kondisi apapun disini berarti termasuk didalamnya segala variasi jenis pemanfaatan sebagimana diatur dalam  pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2008, yaitu:
Pemanfaatan adalah pendayagunaan barang milik Daerah/daerah yang tidak dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah, dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, dan bangun serah guna/bangun guna serah dengan tidak mengubah status kepemilikan.”

Dan termasuk di dalamnya adalah varian yang timbul berdasarkan letak kewenangan yakni pada pengelola barang atau pada pengguna barang.
 

Penilaian Terkait Penyewaan BMD Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri

 Pada pasal 52 ayat (1)  s/d ayat  (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri  nomor 17 Tahun 2007, disebutkan bahwa:
(1)  Penilaian barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, dilaksanakan oleh tim yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dan dapat melibatkan penilai independen yang bersertifikat dibidang penilaian aset.
(2)  Penilaian barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan dilaksanakan untuk mendapatkan nilai wajar dengan estimasi terendah menggunakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
(3)  Hasil penilaian barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah.
 
Dalam lampiran I Peraturan Menteri Dalam Negeri  nomor 17 Tahun 2007, bagian X, angka 2, huruf a s/d huruf e, disebutkan bahwa:
a  Pelaksanaan penilaian barang milik daerah dilakukan oleh Tim yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah dan dapat melibatkan dengan lembaga independen bersertifikat dibidang penilaian asset;
b. Lembaga independen bersertifikat dibidang penilaian aset adalah perusahaan penilai yang memenuhi persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. Penilaian barang milik daerah yang dilaksanakan oleh Panitia penilai, khusus untuk tanah dan/atau bangunan, dilakukan dengan estimasi terendah menggunakan Nilai Jual Objek Pajak sehingga diperoleh nilai wajar;
d. Penilaian barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan berdasarkan nilai perolehan dikurangi penyusutan serta memperhatikan kondisi fisik aset tersebut;
e. Penilaian barang milik daerah yang dilaksanakan oleh Lembaga Independen yang bersertifikat dibidang penilaian aset, dilakukan dengan pendekatan salah satu atau kombinasi dari data pasar, kalkulasi biaya dan kapitalisasi pendapatan serta dilakukan sesuai standar penilaian Indonesia yang diakui oleh Pemerintah.


Penilaian Terkait Penyewaan BMD Sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Manggarai Barat,

 Pada pasal 54 ayat (1)  s/d ayat  (4) Peraturan Daerah Kabupaten Manggarai Barat Nomor 5 tahun 2010, disebutkan bahwa:

(1) Penilaian  barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh Tim Penilai yang ditetapkan oleh Bupati  dan dapat melibatkan  penilai independen bersertifikat di bidang penilaian aset.

(2) Penilaian  barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada  ayat (1), dilaksanakan   untuk mendapat  nilai wajar dengan estimasi terendah menggunakan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).

(3) Penilaian barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan dilakukan oleh Tim Penilai yang ditetapkan oleh pengelola dan dapat melibatkan penilai  independen.

(4) Hasil penilaian barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), ditetapkan oleh Bupati.



Jika dimaknai sebagaimana adanya, ketiga regulasi tersebut memiliki bobot nilai dan pengakuan yang sama, yaitu pelaksanaan Penilaian Barang Milik Daerah dilaksanakan oleh Tim yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dan dapat melibatkan penilai eksternal yang ditetapkan oleh Kepala Daerah. Sejalan dengan hal tersebut diatas maka baik Pengelola maupun Pengguna Barang dalam melaksanakan tata kelola Barang Milik daerah mestinya mengikuti regulasi yang ada sehingga dalam perjalanan tidak menimbulkan multitafsir.



Polimik multi tafsir pengelolaan Barang Milik Daerah khususnya pemanfaatan muncul ketika pelaksanaan tidak sesuai dengan regulasi yang digariskan akan tetapi berdasarkan pada pesan sponsor atau keinginan, kelompok tertentu. Hal ini tentunya tidak boleh terjadi karena dalam pengelolaan Barang Milik Daerah semua keputusan  menurut hemat  penulis harus dikembalikan kepada Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Barang Milik Daerah yaitu Kepala Daerah. Hal ini sejalan dengan ketentuan pengelolaan Barang Milik daerah bahwa Kepala Daerah  adalah pemegang Kekuasaan pengelolaan Barang Milik Daerah, dan dalam melaksanakan kekuasaan tersebut Kepala Daerah dibantu oleh 1). Sekretaris Daerah sebagai pengelola, Kepala SKPD yang membidangi Pengelolaan Aset sebagai Pembantu pengelola, Kepala SKPD sebagai Pengguna Barang, Penjabat Penyimpan dan pengurus Barang SKPD.



Terkait dengan pelaksanaan Sewa Barang Milik Daerah


Pengaturan tentang prosedur pelaksanaan sewa Barang Milik Daerah diatur sebagai berikut :


Dalam pasal 21 dan pasal 22 Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2006 menyebutkan bahwa

Pasal 21  ayat (1) huruf b s/d huruf d, ayat (3) dan ayat (4)


(1) Penyewaan barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan bentuk:

b.     penyewaan barang milik daerah atas tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada gubernur/bupati/walikota;

c.      penyewaan atas sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh pengguna barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3);

d.     penyewaan atas barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan.

(3) Penyewaan atas barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/ bupati/walikota.

(4)  Penyewaan atas barang milik negara /daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan d, dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan dari pengelola barang.



Pasal 22


(1)  Barang milik negara/daerah dapat disewakan kepada pihak lain sepanjang menguntungkan negara/daerah.

Pemanfaatan barang milik daerah, selain penyewaan dapat dipungut retribusi yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

(2)  Jangka waktu penyewaan barang milik negara/daerah paling lama lima tahun dan dapat diperpanjang.

(3)  Penetapan formula besaran tarif sewa dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a.     barang milik negara oleh pengelola barang;

b.     barang milik daerah oleh gubernur/bupati/walikota.

 (4)     Penyewaan dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian sewa-menyewa, yang sekurang-kurangnya memuat:

a.     pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian;

b.     jenis, luas atau jumlah barang, besaran sewa, dan jangka waktu;

c.      tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selamajangka waktu penyewaan;

d.     persyaratan lain yang dianggap perlu.

Cukup jelas.

(5) Hasil penyewaan merupakan penerimaan negara/daerah dan seluruhnya wajib disetorkan ke rekening kas umum negara/daerah.

Uang sewa dibayar dimuka sesuai dengan jangka waktu penyewaan.



Dalam  Pasal  33   Peraturan  Menteri  Dalam  Negeri  Nomor  17 tahun 2007 menyebutkan bahwa :

(1) Barang milik daerah baik barang bergerak maupun tidak bergerak yang belum dimanfaatkan oleh pemerintah daerah, dapat disewakan kepada Pihak Ketiga sepanjang menguntungkan daerah.

(2) Barang milik daerah yang disewakan, tidak merubah status kepemilikan barang daerah.

(3) Penyewaan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh pengelola setelah mendapat persetujuan dari Kepala Daerah.

(4) Penyewaan barang milik daerah atas sebagian tanah dan/atau bangunan, selain tanah dan/atau bangunan yang masih dipergunakan oleh pengguna, dilaksanakan oleh pengguna setelah mendapat persetujuan dari pengelola.

(5) Jangka waktu penyewaan barang milik daerah paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.

(6) Penyewaan dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian sewa-menyewa, yang sekurang-kurangnya memuat:

a.  pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian;

b.  jenis, luas atau jumlah barang, besaran sewa, dan jangka waktu;

c.  tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu penyewaan; dan

d.            persyaratan lain yang dianggap perlu.

(7) Hasil penerimaan sewa disetor ke Kas Daerah.



Dalam Pasal 33 Peraturan Daerah kabupaten Manggarai Barat menyebutkan bahwa :

(1)   Barang milik daerah, baik barang bergerak maupun tidak bergerak yang  belum dimanfaatkan oleh  pemerintah daerah, dapat disewakan kepada pihak ketiga sepanjang menguntungkan daerah.

(2)   Barang milik daerah yang disewakan, tidak mengubah status kepemilikan barang milik daerah.

(3)   Penyewaan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh pengelola setelah mendapat persetujuan Bupati.

 (4) Penyewaan barang milik daerah  selain tanah dan/atau  bangunan dilaksanakan oleh pengguna setelah mendapat persetujuan  pengelola.

(5)   Barang milik daerah yang disewakan kepada pihak ketiga dan/atau pihak ketiga berkeinginan untuk melakukan renovasi, wajib mendapat persetujuan Bupati melalui pengelola dan ditetapkan dengan Keputusan Pengelola.

(6)   Renovasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), teknis pelaksanaan dilakukan oleh tim teknis pemerintah daerah yang dibentuk dengan keputusan pengelola.

(7)   Jangka waktu penyewaan barang milik daerah paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.

 (8)  Penyewaan  dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian sewa menyewa, yang sekurang-kurangnya memuat :

a.  pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian;

b.  jenis, luas atau jumlah barang, besaran sewa dan jangka waktu;

c.   tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu penyewaan;

d.  persyaratan lain yang dianggap perlu.

(9)       Hasil  penerimaan sewa disetor ke Kas  Daerah.


Mengacu pada ketentuan tersebut diatas maka dapat dijelaskan bahwa sewa barang milik daerah berupa tanah dan bangunan hanya dapat dilaksanakan oleh Pengelola atas Persetujuan Kepala Daerah. Hal ini sejalan dengan ketentuan yang menyatakan bahwa Barang milik Daerah yang tidak  digunakan untuk mendukung kelancaran pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi SKPD, oleh SKPD diserahkan kepada Pengelola.


Perlu disadari bahwa dalam hal sewa barang milik daerah yang perlu diperhatikan adalah obyek dan subyek, jenis dan jumlah barang yang disewakan serta barang tersebut tidak dimanfaatkan lagi untuk pelaksanaan tupoksi SKPD, disamping itu Barang Milik daerah yang disewakan harus menguntungkan Pemerintah Daerah.

Menguntungkan disini tidak hanya dilihat dari sisi komersialnya akan tetapi juga diperhatikan dari sisi pelayanan sistem kepemerintahan dan pelayanan kemasyarakatan sesuai tujuan utama pembentukan pusat  Pemerintahan bahwa dalam rangka mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan kesejateraan masyarakat.





==============    semoga  bermanfaat   ====================