Pemimpin dan kepemimpinannya
merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat manusia dan
berperan sentral dalam menjalankan roda organisasi. Bahkan, pemimpin dengan
kepemimpinannya menentukan maju atau mundurnya suatu organisasi, dan dalam
lingkup lebih luas menentukan jatuh dan bangunnya suatu bangsa dan negara.
Dalam situasi bangsa dan negara mengalami berbagai
krisis, yang dikenal dengan krisis multidimensi, yaitu krisis ekonomi, politik,
budaya, hukum dan keamanan, kita menyadari bahwa semua krisis itu bersumber
dari krisis moral dan kepercayaan terutama pada mereka yang diberi kepercayaan
oleh rakyat untuk menjadi pemimpin pada hampir semua profesi. Krisis-krisis
tersebut mengakibatkan krisis kepercayaan rakyat terhadap para pemimpinnya
karena para pemimpin belum berhasil membawa bangsa ini keluar dari krisis
multidimensi yang berkepanjangan. Hal ini diperparah lagi dengan adanya krisis
ekonomi global yang melanda dunia di mana kita merupakan bagian yang tidak
terpisahkan daripadanya. Dewasa ini kita tengah berada di Era Globalisasi yang
bercirikan suatu interdependensi, yaitu saling ketergantungan dan ditandai
dengan semakin canggihnya sarana komunikasi.
Era
Reformasi, keterbukaan dan
demokratisasi yang telah kita masuki menumbuhkan harapan-harapan baru kepada
masyarakat akan datangnya perubahan ke arah yang lebih baik. Namun di sisi
lain, demokrasi yang sedang kita jalani belum diimbangi dengan
pemimpin-pemimpin berkualitas yang benar-benar menjalankan amanat
kepemimpinannya. Kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan, korupsi dan berbagai
skandal penyimpangan menghiasi pemberitaan media massa hampir setiap hari.
Untuk itu diperlukan suatu gerakan “back to basics” , kembali ke
masalah-masalah dasar kepemimpinan yaitu dengan kembali kepada nilai-nilai
kepemimpinan yang diperlukan bagi seorang pemimpin dalam menjalankan
kepemimpinannya. Nilai-nilai kepemimpinan itu juga merupakan “roh” nya
pemimpin, pedoman sekaligus rambu-rambu peringatan agar pemimpin dapat
menjalankan kepemimpinannya dengan efektif dan efisien.
Hakikat Kepemimpinan
Apa sebenarnya hakikat
kepemimpian itu ? Ada banyak buku-buku yang ditulis para pakar kepemimpinan dan
berbagai definisi yang telah dirumuskan berdasarkan sejumlah pengalaman,
penelitian dan pengamatan. Dari berbagai rumusan tentang kepemimpinan, ada
rumusan sederhana yang menggambarkan hubungan antara pemimpin dan yang
dipimpin. Kepemimpinan adalah suatu seni
(art) dan ilmu (science) untuk mempengaruhi
orang lain atau orang-orang yang dipimpin sehingga dari orang-orang yang
dipimpin timbul suatu kemauan,
respek, kepatuhan dan kepercayaan
terhadap pemimpin untuk melaksanakan yang dikehendaki oleh pemimpin, atau
tugas-tugas dan tujuan organisasi, secara efektif dan efisien. Seni
kepemimpinan mengandung arti suatu kecakapan, kemahiran dan keterampilan
tertentu untuk mempengaruhi orang-orang yang dipimpin. Sedangkan ilmu kepemimpinan
mengandung sejumlah ajaran atau teori kepemimpinan yang telah dibuktikan
berdasarkan pengalaman, yang dapat dipelajari dan diajarkan. Dari berbagai
pengertian tentang kepemimpinan dan kualitas yang harus melekat pada diri
seorang pemimpin, dapat dirumuskan dalam sebuah kalimat singkat bahwa : Pemimpin adalah Pengaruh.
Kualitas pemimpin tidak
ditentukan oleh besar atau kecil hasil yang dicapainya, tetapi ditentukan oleh
kemampuan pemimpin mencapai hasil tersebut dengan perantaraan orang lain, yaitu
melalui pengikut-pengikutnya, serta pengaruh yang dipancarkan oleh pemimpin
terhadap pengikutnya. Robert Kelley, seorang profesor di bidang bisnis dan
konsultan serta pelopor pengajaran Followership
and Leadership, dalam bukunya : The
Power of Followership (1992) mengungkapkan hasil penelitiannya yang
dilakukan selama tujuh tahun bahwa para pengikut (followers) ternyata mampu memberikan kontribusi sebanyak
80 persen bagi keberhasilan setiap proyek, sedangkan pemimpin (leader) memberikan kontribusi 20
persen. Pemimpin harus mampu menggerakkan pengikutnya agar mereka bekerja
dengan semangat dan memiliki komitmen untuk mencapai keberhasilan tugas.
Untuk mempengaruhi orang-orang
yang dipimpinnya, seorang pemimpin dapat menggunakan tipe dan gaya kepemimpinan
yang otokratis (tipe direktif, semua terpusat pada diri pemimpin), demokratis
(partisipatif dan konsultatif), paternalistik (ke-“bapak”-an), birokratis
(memimpin berdasarkan aturan), bebas (laissez-faire,
melimpahkan kepada anak buah),
kepemimpinan yang melayani (servant
leadership), atau gabungan dari beberapa tipe kepemimpinan
tersebut. Kadang-kadang tipe kepemimpinan itu melekat sebagai karakter dari
seorang pemimpin, tetapi bisa juga tipe kepemimpinan tersebut digunakan secara
situasional untuk mencapai suatu tujuan pada jangka waktu tertentu.
Dahulu ada anggapan bahwa
hanya orang-orang tertentu yang dilahirkan dengan bakat sebagai pemimpin (leaders are born). Namun dalam
perkembangan zaman sebagian besar pemimpin diciptakan melalui suatu proses,
tumbuh dan berkembang dari bawah, ditempa oleh berbagai pengalaman, ketekunan,
kerja keras, disiplin yang tinggi serta tidak pernah berhenti belajar sepanjang
hidupnya (leaders are made).
Para pemimpin dikenal bukan
hanya karena posisi atau jabatannya tetapi terutama karena ciri-ciri
kepemimpinan dan ajaran-ajarannya yang berguna bagi masyarakat, bangsa dan
generasi yang akan datang. Di Indonesia kita mengenal Presiden Soekarno sebagai
Proklamator Kemerdekaan dan Pemimpin Bangsa dengan ajarannya Nation and Character Building, Jenderal
Soedirman pemimpin pejuang yang tidak mengenal menyerah, Ki Hajar Dewantara
tokoh pendidikan nasional dan sebagainya. Di India dikenal tokoh Mahatma Gandhi
yang diakui sebagai salah seorang tokoh terbesar sejarah serta penggerak ahimsa
(menghindari /anti kekerasan) dan satyagraha (praktek menjalankan kebenaran).
Nilai-Nilai Kepemimpinan
Nilai-nilai kepemimpinan
adalah sejumlah sifat-sifat utama yang harus dimiliki seorang pemimpin agar
kepemimpinannya dapat efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Sifat-sifat utama tersebut ibarat “roh” nya pemimpin yang membuat
seseorang mampu menjalankan kepemimpinannya dengan berhasil guna. Tanpa roh
kepemimpinan maka posisi atau jabatan seseorang sebagai pemimpin tidak ada
artinya.
Beberapa nilai kepemimpinan
yang perlu dimiliki seorang pemimpin antara lain adalah sebagai berikut :
·
Integritas dan moralitas.
Integritas menyangkut mutu,
sifat dan keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi
dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Moralitas menyangkut
ahlak, budi pekerti, susila, ajaran tentang baik dan buruk, segala sesuatu yang
berhubungan dengan etiket, adat sopan santun. Persyaratan integritas dan
moralitas penting untuk menjamin kepemerintahan yang baik, bersih dan
berwibawa. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
(termasuk perubahan-perubahannya) pada Bab V Pasal 133 disebutkan :
Pengembangan karier Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) mempertimbangkan integritas dan moralitas,
pendidikan dan pelatihan, pangkat, mutasi jabatan, mutasi antar daerah,
kompetensi. Di tengah sorotan publik tentang kinerja sebagian pemimpin aparatur
pemerintah yang kurang memuaskan dengan terjadinya kasus-kasus korupsi dan
berbagai penyimpangan, maka nilai-nilai integritas dan moralitas pemimpin perlu
mendapat perhatian utama.
·
Tanggung jawab.
Seorang pemimpin harus memikul
tanggung jawab untuk menjalankan misi dan mandat yang dipercayakan kepadanya.
Pemimpin harus bertanggungjawab atas apa yang dilakukan dan tidak dilakukannya
untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam organisasi. Ia harus
memiliki keberanian untuk mempertanggungjawabkan tindakan yang telah dilakukan
dan mengambil risiko atau pengorbanan untuk kepentingan organisasi dan
orang-orang yang dipimpinnya. Tanggung jawab dan pengorbanan adalah dua hal
yang saling berhubungan erat. Pemimpin harus mengutamakan kepentingan
organisasi daripada kepentingan pribadi atau keluarga termasuk pengorbanan
waktu. Di sisi lain, pemimpin harus melatih bawahan untuk menerima tanggung
jawab serta mengawasi pelaksanaan tugasnya.
·
Visi Pemimpin.
Kepemimpinan seorang pemimpin
nyaris identik dengan visi kepemimpinannya. Visi adalah arah ke mana organisasi dan
orang-orang yang dipimpin akan dibawa oleh seorang pemimpin. Pemimpin ibarat
seorang nakhoda yang harus menentukan ke arah mana kapal dengan penumpangnya
akan di arahkan. Visi sama pentingnya dengan navigasi dalam pelayaran. Semua
awak kapal menjalankan tugasnya masing-masing tetapi hanya nakhoda yang
menentukan arah kapal untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Visi pemimpin
akan menginspirasi tindakan
dan membantu membentuk masa depan. Visi adalah masa depan yang realistis, dapat dipercaya dan menjembatani masa kini dan masa
depan yang lebih baik sesuai kondisi (sosial politik, ekonomi, budaya) yang
diharapkan. Visi juga mengandung harapan-harapan,
atau bahkan “mimpi” yang memberi semangat bagi orang-orang yang dipimpin.
Pemimpin adalah “pemimpi” yang sanggup mewujudkan mimpinya menjadi kenyataan.
Burt Nanus dalam bukunya Kepemimpinan
Visioner mengatakan : “ Tak
ada mesin penggerak organisasi yang lebih bertenaga dalam meraih keunggulan dan
keberhasilan masa depan, kecuali visi yang menarik, berpengaruh dan dapat diwujudkan serta mendapat dukungan luas.”
·
Kebijaksanaan.
Kebijaksanaan (wisdom) yaitu kearifan seorang
pemimpin dalam memutuskan sesuatu sehingga keputusannya adil dan bijaksana.
Kebijaksanaan memiliki makna lebih dari kepandaian atau kecerdasan. Pemimpin
setiap saat dihadapkan kepada situasi yang rumit dan sulit untuk mengambil
keputusan karena terdapat perbedaan kepentingan antar kelompok masyarakat dan
mereka yang akan terkena dampak keputusannya. Seringkali pemimpin seperti
menghadapi “buah simalakama”, sulit untuk menentukan pilihan karena sama-sama
berrisiko. Selain upaya manusia menekuni dan mencari kebijaksanaan, perlu upaya
meminta kebiaksanaan kepada Tuhan sebagai sumber untuk memutuskan keputusan
yang terbaik dan bijaksana.
- Keteladanan. Keteladanan seorang pemimpin adalah sikap dan tingkah laku yang dapat menjadi contoh bagi orang-orang yang dipimpinnya. Keteladanan berkaitan erat dengan kehormatan, integritas dan moralitas pemimpin. Keteladanan yang dibuat-buat atau semu dan direkayasa tidak akan langgeng. Pemimpin sejati melakukan hal-hal baik dengan wajar tanpa pamrih, bukan sekedar untuk mendapat pujian manusia. Sifat-sifat baiknya dirasakan orang lain sehingga dapat mempengaruhi lingkungan dan masyarakat luas sebagai suatu teladan yang hidup.
- Menjaga Kehormatan. Seorang pemimpin harus menjaga kehormatan dengan tidak melakukan perbuatan tercela karena semua perbuatannya menjadi contoh bagi bawahan dan orang-orang yang dipimpinnya. Ia tidak boleh mudah terjebak dalam godaan “Tiga Ta” yaitu “harta” (memperoleh materi atau uang secara tidak sah/ melanggar hukum), “tahta” (mendapatkan kekuasaan dengan menghalalkan sebagal cara) dan “wanita” ( perselingkuhan, hubungan seks di luar pernikahan) yang sering menjatuhkan kehormatan sebagai pemimpin. Budaya lokal (Jawa) juga mengajarkan pemimpin harus menghindari 5 M (Mo Limo ) yaitu maling (mencuri/ korupsi), madat (narkoba), madon (main perempuan), main (berjudi) dan minum (mabuk alkohol). Setiap daerah atau suku bangsa memiliki rambu-rambu kehormatan yang tidak boleh dilanggar oleh seorang pemimpin. Mahatma Gandhi mengatakan ada 7 dosa sosial yang mematikan yaitu : “kekayaan tanpa kerja”, “kenikmatan tanpa nurani”, “ilmu tanpa kemanusiaan”, “pengetahuan tanpa karakter”, “politik tanpa prinsip”, “bisnis tanpa moralitas” dan “ibadah tanpa pengorbanan.” Semua itu merupakan rambu-rambu peringatan bagi pemimpin untuk menjaga kehormatannya.
- Beriman. Beriman kepada Tuhan Yang Mahaesa sangat penting karena pemimpin adalah manusia biasa dengan semua keterbatasannya secara fisik, pikiran dan akal budi sehingga banyak masalah yang tidak akan mampu dipecahkan dengan kemampuannya sendiri. Iman dapat menjembatani antara keterbatasan manusia dengan kesempurnaan yang dimiliki Tuhan, agar kekurangan itu dapat diatasi. Iman juga merupakan perisai untuk meredam keinginan dan nafsu-nafsu duniawi serta godaan untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam menjalankan kepemimpinannya. Penting bagi seorang pemimpin untuk selalu menyadari bahwa Tuhan itu Mahakuasa, Mahamengetahui dan Mahahadir. “Mahakuasa” berarti tidak ada satu pun yang bisa terjadi tanpa perkenan dan pengendalian-Nya. “Mahamengetahui” berarti tidak ada satu pun bisa terjadi tanpa pengetahuan dan keterlibatan-Nya. “Mahahadir” berarti tidak ada satu pun bisa terjadi tanpa Ia ada di sana. Implikasi pemahaman seperti itu bagi pemimpin adalah sesgala sesuatu yang terjadi, termasuk kepemimpinan yang dijalankannya, bukan sekedar kebetulan atau by chance belaka. Pemimpin yang beriman menyadari bahwa semua perbuatannya diketahui dan diawasi Tuhan yang hadir di mana-mana sehingga ia takut mengkhianati amanat sebagai pemimpin. Apabila mengalami kesulitan dan masalah yang berat, ia harus bersandar kepada Tuhan karena tidak ada satu pun kejadian tanpa perkenan dan pengendalian-Nya. Tuhan itu Pemilik kehidupan, Penyelenggara dan Pemberi apa yang kita butuhkan.
- Kemampuan Berkomunikasi. Suatu proses kepemimpinan pada hakikatnya mengandung beberapa komponen yaitu : pemimpin, yang dipimpin, komunikasi dan interkasi antara pemimpin dan yang dipimpin, serta lingkungan dari proses komunikasi tersebut. Peter Koestenbaum, seorang pakar kepemimpinan, melalui bukunya berjudul : Leadership, The Inner Side of Greatness” (1991) mengatakan bahwa : “Kepemimpinan yang bermoral adalah suatu proses moralitas untuk mencapai suatu tingkat atau keadaan dimana para pemimpin mampu mengikat (dalam arti berkomunikasi dan berinteraksi) dengan yang dipimpinnya berdasarkan kebersamaan motif, nilai dan tujuan – yaitu berdasarkan kebutuhan-kebutuhan hakiki para pengikut maupun pemimpin itu sendiri.” Di sini tampak bahwa antara pemimpin dan yang dipimpin terdapat suatu ikatan kuat sebagai satu keutuhan dan memiliki ketergantungan satu sama lain. Untuk mencapai hal tersebut maka seorang pemimpin harus mampu membangun komunikasi dengan orang-orang yang dipimpinnya sehingga kepemimpinannya dapat efektif dan efisien. Sebaliknya, kegagalan dalam menjalankan komunikasi dapat menimbulkan keadaan yang kurang harmonis dalam organisasi bahkan dapat menjurus kepada situasi konflik yang mengganggu pelaksanaan tugas. Kemampuan berkomunikasi juga diperlukan untuk menggalang para tokoh masyarakat (tomas), tokoh agama (toga) dan tokoh adat (todat) karena mereka memiliki pengaruh dan pengikut di masyarakat.
- Komitmen Meningkatkan Kualitas SDM. Sumber daya manusia (SDM) adalah faktor strategis dan penentu dalam kemajuan organisasi, dan pemimpin harus memiliki komitmen kuat untuk meningkatkan kualitas SDM. Ada pepatah kuno yang kurang lebih berbunyi sebagai berikut : “Kalau Anda ingin memetik hasil jangka pendek, tanamlah jagung atau padi. Kalau ingin memetik hasil jangka panjang, tanamlah pohon kelapa. Tetapi kalau ingin memetik hasil sepanjang masa, didiklah manusia !” Dari semua sumber daya yang tersedia bagi manajemen – uang, bahan, peralatan dan manusia – maka sumber terpenting adalah manusia. SDM merupakan faktor strategis yang menentukan suatu proses produksi atau pembangunan ekonomi, tetapi ironisnya ada kecenderungan umum untuk lebih memperhatikan investasi aset modal atau finansial, material, dan pembangunan fisik ketimbang aset manusia atau SDM. Dari 16 bab dan 240 pasal dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (termasuk perubahan-perubahannya) hanya ada 1 bab dan 7 pasal yang berkaitan dengan sumber daya manusia yaitu Bab V tentang Kepegawaian Daerah.
Selain nilai-nilai tersebut di
atas ada azas-azas kepemimpinan yang dipakai oleh kepemimpinan TNI dan bisa
dipakai juga dalam kepemimpinan aparatur pemerintah. Azas tersebut adalah Takwa
(beriman kepada Tuhan Yang Mahaesa), Ing Ngarsa Sung Tulada (memberi teladan
kapada anak buah), Ing Madya Mangun Karsa (menggugah semangat di tengah anak
buah), Tut Wuri Handayani (mendorong dari belakang), Waspada Purbawisesa
(selalu waspada dan sanggup beri koreksi), Ambeg Parama Arta (memilih yang
harus didahulukan), Prasaja (sederhana), Satya (sikap loyal), Gemi Nastiti
(membatas pengeluaran pada yang benar-benar diperlukan), Belaka (berani
mempertanggungjawabkan tindakannya), Legawa (keikhlasan menyerahkan tanggung
jawab dan kedudukan kepada generasi berikutnya). Azas Ing Ngarsa Sung Tulada,
Ing Madya Mangun Karsa dan Tut Wuri Handayani bisa disebut sebagai nilai
keluwesan seorang pemimpin menghadapi situasi dan pengikut yang berbeda-beda.
Peran Pemimpin Aparatur
Pemerintah
Pemimpin menjalankan peran
sentral dalam menjalankan roda pemerintahan. Sebagai pemimpin aparatur
pemerintah ia menjalankan kepemimpinan birokratis atau “memimpin berdasarkan
peraturan” tetapi bisa juga gabungan dengan kepemimpinan demokratis,
kepemimpinan yang melayani atau dengan salah satu tipe lainnya. Perilaku
pemimpin birokratis ditandai dengan batasan-batasan peraturan dan prosedur bagi
pemimpin dan anak buahnya. Sebenarnya gaya kepemimpinan ini mirip dengan kepemimpinan
otokratis, hanya bedanya dalam kepemimpinan otokratis semua perintah terpusat
pada pemimpin (leadership center) sedangkan
pada kepemimpinan birokratis yang berlaku adalah peraturan-peraturan dan
prosedur yang sudah ditentukan. Peraturan-peraturan tidak hanya berfungsi untuk
mendapatkan kepatuhan dari yang dipimpin tetapi juga berlaku sebagai alat
kontrol bagi pemimpin. Bila terjadi kesalahan atau penyimpangan dalam
penerapan peraturan dapat timbul sengketa yang kadang-kadang berakhir di
pengadilan (PTUN).
Untuk dapat meningkatkan
kinerja organisasi, gaya kepemimpinan seorang pemimpin harus bersifat dinamis
serta menonjolkan aspek kolektivitas organisasi, yang pada gilirannya akan
menghasilkan dinamika kelompok (group
dinamics) yang
sangat diperlukan dalam ajang persaingan yang makin keras. Dalam hal ini
pemimpin perlu mengembangkan kemampuan komunikasi dan interaksi yang lebih
aktif dan positif yang bersifat multidimensi.
Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, Bab IV, Pasal 25 butir a disebutkan bahwa Kepala Daerah
memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD. Selanjutnya pembinaan atas penyelenggaraan
pemerintahan daerah dilaksanakan dengan :
·
Pemberian
pedoman/ arah, pengendalian kebijakan dan standar pelaksanaan urusan
pemerintahan.
·
Pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan
urusan pemerintahan.
·
Pemberian
perintah dan pemberian motivasi (dorongan).
·
Penyelengaraan
pendidikan dan pelatihan.
·
Perencanaan penelitian, pengembangan, pemantauan dan
evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan.
·
Koordinasi antara badan-badan / lembaga terkait (vertikal
dan horisontal).
·
Evaluasi secara terus menerus untuk meningkatkan kinerja
organisasi.
Dalam lingkup kepemimpinan yang lebih luas,
pemimpin aparatur pemerintah dapat berperan multifungsi sebagai berikut :
1.
Seorang pemimpin yang memegang kendali (komando) dalam
pemerintahan,
2.
Seorang pembina (sifat membangun ke arah perbaikan),
3.
Seorang
“bapak” (sifat mengayomi),
4.
Seorang “guru” (sifat keteladanan dan tempat bertanya),
5.
Seorang
mitra kerja (teman berdiskusi dan memecahkan masalah).
Lima peran (wajah) pemimpin dimaksud adalah sebagai
berikut : Pertama, sebagai
pemimpin birokratis ia menjalankan kepemimpinan berdasarkan peraturan dan
prosedur yang berlaku. Tetapi semua itu belum cukup bagi seorang pemimpin untuk
mempengaruhi pengikutnya melakukan apa yang dikehendaki pemimpin dan tujuan
organisasi. Ia harus konsekuen menghayati nilai-nilai kepemimpinan dan
mengamalkannya sehingga mendapatkan respek, kepatuhan dan kepercayaan dari
orang-orang yang dipimpinnya. Untuk itu pemimpin harus memiliki standar etika
yang tinggi. Etika merupakan kunci dalam menjalankan kepemimpinannya karena ia
merupakan dasar dari semua interaksi kelompok dan pembuatan keputusan. Etika
profesional mengisyaratkan pemimpin untuk memelihara etika tinggi untuk
mengontrol kelakuan pribadi dalam segala situasi, sehingga pegawai dapat
bersandar (secara moral dan moril) kepadanya dalam mereka bertindak. Dalam
beberapa kasus, kita melihat sebagian pemimpin dengan posisi jabatan strategis
tetapi tidak diimbangi dengan etika profesional yang memadai sehingga berakibat
kegagalan dalam menjalankan kepemimpinan karena terlibat skandal moralitas atau
kriminalitas.
Kedua, seorang
pemimpin juga berperan sebagai pembina yaitu membangun kehidupan berorganisasi
ke arah yang lebih baik. Ia harus mampu menerapkan sistem reward and punishment dalam membina SDM
sehingga dari waktu ke waktu terdapat perbaikan kinerja pribadi, kelompok dan
organisasi. Secara sederhana dapat dikatakan sifat pembina adalah memperbaiki
yang salah dan meningkatkan yang benar. Pembina yang baik tidak membiarkan
kesalahan kecil berkembang menjadi kesalahan besar, tetapi memperbaiki dan
mencegah agar tidak terjadi kesalahan serupa. Di sisi lain, pembina harus
mendorong anak buah yang berprestasi agar keberhasilannya dapat memberi
kontribusi positif bagi kemajuan organisasi.
Ketiga, pemimpin
juga berperan sebagai “bapak” bagi bawahan dan anak buahnya. Pengertian “bapak”
di sini mengandung sifat-sifat mengayomi agar bawahan dan anak buah merasa
tenang dalam bekerja karena merasa mendapat pengayoman dari pemimpinnya. Selain
itu seorang pemimpin memimpin aparatur pemerintah sebagai manusia dengan segala
kompleksitas permasalahan termasuk masalah keluarganya. Perhatian terhadap
kesejahteraan keluarga merupakan kewajiban pemimpin, karena ia adalah “bapak”
bagi masyarakat.
Keempat, pemimpin
juga berperan sebagai “guru” dalam arti menjadi teladan bagi anak buah, tempat
untuk bertanya serta mendapatkan solusi untuk mengatasi kesulitan dalam
pelaksanaan tugas. Oleh sebab itu kualitas intelektual seorang pemimpin biasanya di atas
rata-rata kelas. Seorang pemimpin harus senantiasa belajar, bukan hanya melalui
pendidikan formal, tetapi melalui pendidikan sepanjang hayat dengan banyak
membaca dan menimba pengetahuan lewat pendidikan non formal.
Kelima, pemimpin juga bisa berperan sebagai mitra atau
teman terhadap bawahan dan anak buahnya. Dengan memperlakukan bawahan sebagai
mitra dalam berbagai aktivitas (diskusi, olah pikir, kegiatan bersama lainnya)
maka pemimpin bisa mendapatkan beberapa manfaat, yaitu komunikasi dan interaksi
yang lebih baik, menggunakan kelebihan bawahan untuk meningkatkan kinerja
organisasi, dan menggalang kepengikutan (followership)
yang lebih luas.
Faktor-faktor yang Berpengaruh
Beberapa faktor berpengaruh
yang bisa menimbulkan hambatan dan penyimpangan dalam menjalankan kepemimpinan
adalah sebagai berikut :
1. Berkembangnya
faham-faham (isme) dewasa ini yang mempengaruhi pola dan gaya kehidupan
masyarakat yaitu materialisme (mendewakan materi), hedonisme ( hidup untuk
bersenang-senang) dan konsumerisme (mengikuti naluri konsumtif). Orang
cenderung ingin memiliki materi lebih (dimensi
having) ketimbang menjadi manusia yang lebih bermartabat (dimensi being). Sementara di sisi lain
gaji / penghasilan PNS belum dapat sepenuhnya mencukupi kebutuhan hidup
keluarga ( perumahan, biaya pendidikan anak-anak dsb). Seringkali timbul
hal-hal yang dilematis, misalnya pilihan untuk hidup jujur atau mengikuti
“arus” dengan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan (melanggar aturan), dan
sebagainya. Semua ini secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh dalam
pelaksanaan kepemimpinan.
2. Praktek korupsi yang
menghambat kemajuan organisasi dan melemahkan peran pemimpin. Korupsi (corruption) mengandung makna : korup (corrupt) berarti jahat, busuk, rusak,
curang dan tidak jujur (dishonest). Korupsi
bukan hanya kejahatan menyelewengkan uang negara atau perusahaan, tetapi juga
suatu kejahatan peradaban atau moral yang buruk. Pemimpin yang melakukan
korupsi akan berakibat bawahan meniru perbuatan korupsi dan terjadi pembusukan
dalam organisasi. Bahkan korupsi tidak selalu dilakukan secara sendiri-sendiri
tetapi secara bersama-sama. Tindakan korupsi bisa menghancurkan pemimpin dan
berakibat kepemimpinan yang dijalankan tidak efektif lagi.
3.
Proses rekrutmen pemimpin yang hanya berorientasi
mengejar kekuasaan dan uang. Demokratisasi
dan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung selain sisi positifnya, juga mengandung
kelemahan yaitu hanya mereka yang memiliki modal (uang) yang cukup banyak dapat
maju sebagai calon kepala daerah / wakil. Akibatnya, setelah calon terpilih
terpaksa harus memikirkan “balas jasa” kepada sponsor politik dalam bentuk
kemudahan-kemudahan usaha yang melanggar aturan, membayar “hutang politik”
kepada para pendukung dalam penempatan jabatan yang terkadang mengabaikan segi
kualitas. Masih diperlukan waktu yang cukup panjang untuk mengeliminer
dampak-dampak negatif tersebut dalam proses demokratisasi yang tengah
dijalankan.
Demikianlah pokok-pokok pikiran tentang Nilai-nilai
Kepemimpinan dan Peran Pemimpin Aparatur Pemerintah. Nilai-nilai kepemimpinan
sebagai sifat utama dan “roh” pemimpin harus melekat dalam diri pemimpin
karena tanpa “roh” tersebut kepemimpinan tidak ada artinya. Peran pemimpin
aparatur pemerintah dengan kepemimpinan birokratis adalah sentral dari seluruh
kegiatan organisasi. Selain itu pemimpin dapat berperan juga sebagai pembina,
sebagai bapak, sebagai guru dan mitra terhadap orang-orang yang dipimpinnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar